Pages

Pages

Revolusi Langit

Share
Sejarah hidup manusia adalah sejarah revolusi atau sejarah perubahan. Sejarah yang dalam bahasa Arab dari ‘syajaratun’ yang berarti pohon, berkaitan erat dengan “perubahan”. Perubahan yang bermakna “gerak” menuju ke bumi untuk menerima dan menjalankan fungsi sebagai “khalifah” (Q.S. 2: 30). Dalam setiap perubahan bisa menghasilkan kebaikan atau keberkahan (An-Nur: 35, “min syajaratin mubarakah.”) yaitu ketika petunjuk Allah digunkan sebagai pedoman, ia diibaratkan sebagai ‘pelita kaca yang bercahaya seperti mutiara’ dan dinyalakan dengan bahan bakar min syajaratin mubarakah, seperti penggambaran perubahan yang dihasilkan oleh perjuangan Nabi Musa (Al-Qashash: 30, “fi buq’atil mubarakati minasy syajarati ayya Musa.”) bisa juga menghasilkan juga memberikan gambaran kegagalan Nabi Yunus yang dilukiskan sebagai ‘pohon labu’ yang rendah dan lemah (As-Saffat : 146, “Syajaratan min yakthiin“). Sementara bagi yang mencoba menciptakan sejarah dengan menjauhkan dirinya dari petunjuk Allah, hasilnya hanyalah akan menumbuhkan sebatang ‘pohon pahit’ yang keluar dari dasar neraka Jahim (As-Saffat : 62/64 “Syajaratun Jakkun” atau “Syajaratun Tajruhum fii ‘ashlil Jahiim“).
Sejarah yang baik melahirkan perubahan yang baik “masalan kalimatan thayibatan kasyajaratin thayyibah.” sementara sejarah yang buruk membuahkan hal buruk pula “wa mansyalatu kalimatin khabisyatin kasyajaratin khabisyah.” Itulah pelajaran-pelajaran yang berharga manakala kita kaji dan telaah betul akan proses dan buah dari sejarah (Q.S. 12: 111, “laqad kana fi qashasihim ‘ibratun li ulil albab”).

Perubahan dalam bahasa kontemporer adalah revolusi. Pada awalnya, kata revolusi memang tak menyenggol politik. Dalam publikasi yang tergolong dini, kata itu digunakan Nicholas Copernicus ketika menyusun On the Revo lutions of the Heavenly Spheres pada abad ke-14. Astronom Polandia itu membahas teori heliosentrik tentang perputaran Bumi mengeli lingi Matahari. Jadi, di sini revolusi bermakna umum ‘putaran’. Dalam antropologi, konsep Revolusi Neolitik melukiskan perubahan komunitas berburu yang terbatas menjadi masyarakat berproduksi yang lebih luas. Perubahan semacam itu, tulis Anthony Smith dalam The Ethnic Origins of Nations (1988), pasti ditandai oleh rangkulan identitas kultural yang baru sama sekali.

Barangkali John Locke, filsuf Inggris abad ke-17, yang menggiring kata revolusi ke arena bahasa politik, berwatak keras. Pandangannya tentang batas kewenangan negara agar terhindar dari tirani (dalam Second Treatise on Civil Govern ment, 1690) telah mengipasi masyarakat sipil untuk terus-menerus memelototi tingkah penguasa. Menurut Locke, suatu pemerintahan dibangun dengan tujuan melindungi property warganya secara adil. Karena itu, jika suatu pemerintah an tak mampu memenuhi “hak alamiah” warganya tersebut, semisal menjamin kebebasan dan kesejahteraan, rezim itu layak dimakzulkan, bila perlu secara paksa alias direvolusi.

Revolusi tak terjadi dengan sendirinya, seperti puisi, revolusi punya saatnya sendiri untuk lahir. Revolusi adalah kehendak zaman yang menginginkan perubahan, revolusi adalah siklus kehidupan yang menciptakan masa depan, revolusi adalah pergeseran dari “kita” ke “kami” yang tak terelakkan.

Revolusi tak bisa di fotokopi. Revolusi tak bisa dipesan. Bung Karno pernah mengatakan, tak ada model revolusi yang “ready-for-use“. Masyarakat bisa diubah dengan satu desain, tapi tak akan bisa sepenuhnya terpenuhi. Sejarah dan geografi yang berbeda-beda tak mudah diutak-atik. “Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, “tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri.”

Masa lalu revolusi dihinggapi kenangan perang dan kekerasan, darah dan air mata. Kini, imajinasi tentang revolusi tak melulu perang dan kekerasan, tapi juga “wajah romantik” sebuah perubahan. Istilah revolusi kontemporer seperti revolusi vodka, revolusi beludru, revolusi mawar, dan revolusi oranye yang terjadi di beberapa negara bekas Uni Soviet dan sekutunya seakan menyaput karakter teror sejarah revolusi masa lalu negeri itu. Revolusi mutakhir umumnya berjalan damai meski terjadi silang politik. Sebutan tentang revolusi yang terkesan puitik mungkin merefleksikan kesadaran baru: betapapun pahit suatu revolusi, pada hakikatnya demi “kelahiran kembali” yang lebih baik. Dalam artian ini, menurut Piter Sztompka, penulis masalah perubahan sosial di kawasan Eropa Timur, “revolusi adalah tanda kesejahteraan sosial”.

Pada masa kemerdekaan Indonesia (1945-1949), istilah “revolusi” dan “revolusi Indonesia” dipergunakan secara luas untuk menyebut perjuangan dan pergolakan pada masa itu. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan kisah sentral dalam sejarah Indonesia, melainkan unsur yang sangat kuat dalam persepsi bangsa Indonesia tentang dirinya sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru dan tatanan sosial yang lebih adil kemudian tampak membuahkan basil pada masa-masa sesudah Perang Dunia II.

Soekarno membentangkan revolusi Indonesia mesti melalui dua tahap: revolusi nasional demokratis dan sosialisme. Pada tahap pertama, yakni revolusi nasional-demokratis, tugas pokok kita adalah menghancurkan sisa-sisa feodalisme dan imperialisme. Dengan demikian, revolusi tahap pertama ini bersifat nasional dan demokratis. Sifat nasionalnya terletak pada tugas pokoknya menghancurkan kolonialisme dan imperialisme. Sedangkan watak demokratisnya terletak pada penentangannya terhadap keterbelakangan feodal, otoritarianisme, dan militerisme.

Revolusi nasional akan menghasilkan negara nasional yang merdeka dan berdaulat. Pada tahap itu, semua sisa-sisa kolonialisme di lapangan ekonomi, politik, dan sosial-budaya akan dilikuidasi. Negara merdeka inilah kelak senjata untuk menyiapkan syarat-syarat tahap sosialis.

Tahap kedua revolusi indonesia adalah revolusi sosialis. pada tahap ini, perjuangan pokok diarahkan untuk menghilangkan segala bentuk “I’exploitation de I’homme par I’homme” dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya. Di dalam Manipol 1959 ditegaskan, “hari depan revolusi Indonesia adalah sosialisme”. Soekarno merumuskannya sebagai “sosialisme Indonesia”, yakni sosialisme yang disesuikan dengan kondisi-kondisi di Indonesia.

Lain dengan Bung Karno, dalam buku Haluan Politik Islam (1946), menyebutkan bahwa peroebahan masjarakat tjepat (revolusi), menoeroet sifat dan tabi’at jang terkandoeng didalamnja, dibagi atas 2 bagian: (1). Revolusi Nasional, ialah perjuangan menolak tiap-tiap penjajahan dan menuntut atas hak kemerdekaan serta sanggup mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara. Maka…

”jakinlah tiap-tiap Moeslim, bahwa fardloe-‘ain lah jang menoentoet dan mendorang dirinja, bagi menolak tiap-tiap pendjadjahan, melakoekan Djihad fi-sabilillah bima’na qital atau ghazwah, dengan harta dan djiwanja, dan apapoen djoega jang dikehendaki oentoek koerban pada djalan jang soetji itoe…“ (2). Revolusi Sosial, ialah “sifat kedoea daripada perdjoeangan Oemmat, jang menghendaki peroebahan masjarakat dari dalam kedalam, didalam negeri sendiri, oleh bangsa sendiri dan bagi kepentingan Negara kita sendiri.”

Hukum revolusi menurut Bung Karno diantaranya : Setiap revolusi mesti punya kawan dan punya lawan. Setiap kekuatan revolusi harus sanggup mendefenisikan siapa kawan dan siapa lawan. Dan, setelah itu, harus ditarik garis pemisah yang terang antara siapa kawan dan siapa lawan dalam revolusi. Dan “setiap perjuangan selalu melahirkan sejumlah penghianat dan para penjilat“, begitu kata sajak yang ditulis Taufiq Ismail sekitar 1966.

Manusia sebagaimana manusia pertama Adam diperingatkan untuk tidak menyentuh “pohon pahit” ““ya adamu hal adulluka ‘ala syajaratil khuldi.” hanya karena terperdaya oleh lawan sejati manusia yaitu Iblis dan Syetan membuat manusia menjadi musuh bagi sebahagian manusia lainnya. Musuh revolusi adalah keserakahan Iblis yang merasuk pada sukma jiwa manusia, musuh revolusi adalah kesombongan kekuasaan yang melahirkan penderitaan rakyat, musuh revolusi adalah penjajahan manusia atas manusia.

“Innallaha la yughoyyiru ma biquomin hatta yughoyirru ma bianfusihim” bahwa revolusi belum selesai dan tak pernah akan selesai sampai pada titik yang dicita-citakan umat manusia, maka perubahan demi perubahan yang terjadi dalam sejarah hidup manusia bergantung pada harapan, cita-cita dan usaha dari manusia itu sendiri. Revolusi adalah cara meretas masa untuk mencapai syajaratin thayyibah. Maka hanya ada satu jalan yang dibutuhkan yaitu REVOLUSI DARI LANGIT.

Revolusi dari langit adalah revolusi dengan petunjuk wahyu Ilahi “wama yanthiqu anilhawa, in huwa wahyu yuha”….

”Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai” (Qs. At-Taubah (9) : 32)

Referensi :
Revolusi, Gunawan Muhammad, Catatan Pinggir Majalah Tempo, 21 Februari 2011
Revolusi Belum Usai, Kasijanto Sastrodinomo, Majalah Tempo, 16 Agustus 2011
Soekarno dan Dua Tahap Revolusi, Berdikari-Online
Haluan Politik Islam, Serbasejarah.

0 komentar:

Posting Komentar

 
suket teki © 2011 | Template by Blogger Templates Gallery collaboration with Life2Work

Selamat Datang Di Santri BLOG

Selamat datang di Blog saya, semoga saja kalian bisa mendapatkan apa yang kalian butuhkan diblog saya ini. Terima kasih Telah Berkunjung Di Blog saya,apabila berkenan silahkan berkomentar dan follow blog saya,mari kita saling berbagi ilmu tentang apa saja...

Sekilas tentang penulis

Nama suket teki,belajar hidup sesuai kehendak allah mari inggat allah untuk mengenal yang Maha Hidup

Go