Artikel
dibawah adalah beberapa opini dan karya dari orang2 Indonesia yang
masih punya hati dan bila kamu bertannya "Lalu apa yang telah kamu
berikan kepada para pahlawan?" hari ini aku belum bisa memberikan jasa
balik kepada mereka, mungkin suatu nanti...dan saat ini aku hanya baru
mampu memberikan halaman di facebook yang bertujuan untuk membuka mata
orang orang yang telah lupa siapa pahlawannya, yang telah memberikan
mereka (termasuk Petinggi Negara yang KORUPSI) kenikmatan kemerdekaan
seperti saat ini :
Simpang Potong, Kota Padang. Sebentuk tubuh tua ringkih,
tampak terduduk lesuh. Tanpa alas di atas trotoar berwarna coklat.
Tubuhnya hanya terbungkus kemeja buram. Kepalanya, juga tertutup kopiah
hitam yang tampak sudah digerogoti usia. Kopiah itu, seolah setia
menutupi rambutnya yang memutih.
Lelaki tua itu bernama Anwar berumur
94. Tanah Kuranji adalah tempat pertama yang menyambut kelahiran Anwar.
Wajahnya keriput, dipenuhi bulu-bulu kasar berwarna abu-abu. Dengan
gigi yang hanya tinggal dua, mulut Pak tua tampak komat-kamit,
menyeringai. Sesekali, tangannya menengadah, pada setiap manusia yang
berlalu. Berharap belas kasihan dan secarik uang untuk pengisi perutnya
yang mulai minta diisi. Namun semua tampak acuh. Anwar tak putus asa,
tangannya semakin dijulurkan.
Anwar tak punya rumah. Hidupnya
hanya numpang di rumah warga Koto Baru, orang yang berbaik hati
menampung tubuh ringkihnya. Hidup sendirian di hari tua ternyata membuat
Anwar harus mengalah pada kerasnya dunia. 10 tahun sudah Anwar jadi
pengemis. Hanya menengadahkan tangannya, itulah cara Anwar bertahan
hidup. Maklum, usia yang hampir satu abad tak ada yang bisa
dikerjakannya. Tulangnya rapuh.
Jangan tanyakan keluarga pada
Anwar, sebab, itu hanya akan membuatnya menangis. “Saya tak punya
keluarga. Istri saya sudah meninggal tahun 1960. Bersama bayi yang
dikandungnya. Mati karena kurangnya gizi,” terang Anwar. Air mata bening
menjalar di pipi keriputnya.
Tak seperti pengemis lainnya, yang
kebanyakan terbelakang dan tak pernah mengenyam pendidikan. Anwar lain.
Tiga bahasa asing, Bahasa Jepang, Ingris dan Belanda dikuasainya. Bahkan
waktu berdialog dengan POSMETRO sesekali lontaran ucapan berbahasa
Belanda pun diucapkannya. Anwar fasih, lidah tuanya seakan sudah biasa
melafazkan ucapan bahasa asing tersebut.
Semakin penasaran dengan
“Pak Tua Simpang Potong” itu, Penulis pun mulai menjejeri langkah
Anwar. Mencoba mengorek lebih dalam tentang dirinya. Siapa gerangan
Anwar, sudah rapuh tapi kuasai tiga bahasa? Ada sesuatu cerita
tersembunyi dari lembar hidup Pak tua dan itu membuat hasrat penasaran
penulis kambuh!. Dua hari menyatroni Anwar di simpang Potong, akhirnya
Penulis tahu kalau Anwar bukan pengemis sembarangan. Catatan sejarah
terpampang dari celoteh Pak Tua itu.
Memang sekarang Anwar
hanyalah pengemis tua yang menyedihkan. Hidupnya tak tentu arah. Tapi,
jika merunut sejarah “tempoe doeloe” Anwar adalah pemuda gagah yang ikut
mengokang senjata melawan para penjajah. Pangkat yang disandang
Anwarpun tak main-main, Letnan Satu, Komandan Kompi 3 Sumatra Bagian
Selatan. Itulah daerah Anwar waktu menjabat sebagai serdadu bangsa untuk
mengusir penjajah. Bukankah luar biasa “si Anwar Muda”?.
“Saya
bekas tentara Sumatra Selatan. Di bawah pimpinan Bagindo Aziz Chan saya
menjadi komandan Kompi 3 untuk berpetualang, melintasi medan demi
menyerang Belanda. Tak terkira berbagai kisah pilu yang saya alami saat
perang bergejolak. Tapi, untuk bangsa itu semua belum apa-apa. Hanya
satu hal yang membuat kami bangga waktu pulang dari medan perang. Bangga
jika membawa topi serdadu Belanda, itu jadi kebanggaan tersendiri dan
membuat kita merasa terhormat,”ulas Anwar menatap kosong.
Lubang
kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi kaki kananya, menjadi bukti
keikutsertaan Anwar berjuang untuk bangsa. “Kaki ini ditembus peluru di
Jalan Jakarta (sekarang bernama Simpang Presiden). Waktu itu hari masih
pagi. Bangsa kita baru saja membuat perjanjian dengan Belanda
(Perjanjian Linggar Jati). Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu.
Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota.
Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang ke Posko,” terang
Anwar.
Bukan sekali Anwar kena tembak, bahkan, pengap dan
lembabnya dinding jeruji besi pun telah dua kali Anwar rasai. “Empat
tahun saya dibui. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang dengan tujuan
Payokumbuah yang waktu itu (tahun 1946) sedang bergejolak. Tapi sial,
melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda. Waktu itu, peluru habis
sementara kaki saya masih terbalut secarik kain yang menutupi lubang
timah panas. Saya digiring, kaki dirantai, diberi golongan besi, “ungkap
Anwar mencoba merunut kembali petualangan masa lalunya.
Di
Panjang Panjang, Anwar diperlakukan tak senonoh oleh tentara Belanda.
Hantaman bokong senjata, sayatan belati sampai minum air kencing “sang
meneer” pun hampir tiap hari menyinggahi kerongkongan Anwar. Namun Sang
Letnan tetap tegar. Kepalanya tetap tegak, walau kucuran darah dari
pelipisnya tak pernah berhenti.
“Penjara dulu, bukan seperti
sekarang. Dulu, tangan di ikat kawat berduri, kaki di ikat dengan rantai
yang diberi golongan besi. Saban hari kena pukul. Bahkan, Untuk minum,
mereka memberi air putih yang di campur kencing,”celoteh Anwar.
Soal
Nasiolisme, Anwar bak “Si Naga Bonar” walau tua tapi kecintaannya pada
Indonesia tak pernah surut. Terus berkobar. “Saya pernah ditanya
belanda, apakah saya berjuang dan jadi tentara karena hanya sekedar
kedudukan dan jabatan semata?. Saya jawab aja apa adanya, “Aku berjuang
untuk Negara, bukan kedudukan. Bila kelak aku mati di sini. Aku bangga,
karena itu demi negara,”ulas Anwar mengingat kembali peristiwa hidup
yang masih segar dalam ingatannya.
Kemerdekaanpun sepenuhnya
diraih Indonesia. Namun tak begitu bagi Anwar, tak ada penghargaan yang
diterimanya. Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seorang
Anwar seakan dilupakan. Anwar hilang di tengah gegap gempita eforia
kemerdekaan. Ditambah kematian istri, seolah pembawa petaka. Anwar
kehilangan semangat hidup. Sempat terjerumus ke dunia hitam. Anwar
tobat. Tapi, hidup memang tak pernah berpihak pada Anwar. Semakin
terlunta-lunta. Hingga jalan sebagai pengemispun jadi pilihan
terakhirnya.
Tak ada tanda jasa, tak ada lencana penghormatan
yang diterima Anwar dari Pemerintah. Bahkan gelar pahlawan veteranpun
tak singgah pada Anwar. “Saya tak butuh apapun. Dulu, saya berjuang
bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Tak
perlu tanda jasa apalagi uang. Biarlah hidup begini, asal tak menganggu
orang lain. Saya rela. Memang, angkatan saya yang ikut mengangkat
senjata kebanyakan tenang dan menjalani masa tuanya dengan glamauran
harta. Saya tak suka itu, bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan masa
tua, tapi untuk kemerdekaan bangsa. Biarlah orang memandang saya hina.
Asal saya bisa tenang. Biarlah hanya makan sehari yang penting bangsa
ini merdeka,”jawab Anwar tegar, segera berdiri, pergi minta segelas air
kepada pedagang di depan Masjid AL-Mubarah, Sawahan.
Hari ini , Jumat
(1/8) Penulis kembali berniat menemui Anwar. Namun, “Sang Letnan”
menghilang dari Simpang Kandang. Dua onggok batu yang biasanya jadi
sandaran Anwar kehilangan tuannya. Anwar raib. Padahal hari masih pagi,
jarum jam baru berada di angka sembilan. Kemana Anwar?.
Kecewa
dengan hilangnya Anwar, penulis mencoba menelusuri RTH (Ruang Terbuka
Hijau) Imam Bonjol. Tempat biasanya Anwar tidur ketika penat datang
mendera tubuh rentanya. Benar juga, tubuh renta Anwar tergolek diantara
rumpun hijau Imam Bonjol. Namun ada yang lain dari penampilan Anwar hari
ini. Bajunya tak hanya buram seperti kemarin, tapi lebih parah, kemeja
biru yang dipakainya sudah tak berbuah. Mempertontonkan tulang-tulangnya
yang kelihatan menonjol dibalut kulit keriput. Perutnya kempis.
Sandalnyapun berlainan warna, hijau dan biru berbalut seutas tali
plastik warna putih.
Mencoba mendekat, ternyata Anwar tertidur.
Dadanya terlihat turun naik beraturan, membusung. Tulang dadanya semakin
menonjol. Perlahan mata Anwar terbuka. Sesaat pandangannya kosong.
“Tadi Saya pingsan nak, perut lapar. Padahal saya belum dapat apa-apa.
Saya tak kuat berdiri. Untunglah ada seorang tukang becak yang kasihan
pada saya. Membelikan saya sebungkus nasi telur. Tapi badan ini masih
lemas,”erang Anwar lesuh.
Seperti sebelumnya, Walaupun tubuh
rentanya masih lemah, Anwar tetap bercerita panjang lebar tentang
kerasnya hidup yang dilewatinya selama 10 tahun hidup dijalanan. “Saya
hanya kuat berdiri di simpang ini sampai pukul 11 siang. Tubuh ini sudah
terlalu tua untuk lama-lama berdiri. Matahari terlalu garang. Berlainan
benar waktu muda dulu, beratnya medan tempur selalu bisa saya
taklukkan. Ah, sampai kapan tubuh ini bisa bertahan menunggu kepingan
logam. Saya tak tahu,”Anwar menerawang.
Perlahan,
rentetan-rentetan kehidupan Anwar mulai terkuak. Celoteh panjang Anwar
menguak tabir tersebut. Rupanya, Anwar juga pernah menjadi awak kapal
barang berbendera Jerman. Lulus di Sekolah Sembilan (Belakang Tangsi)
tahun 1930. Anwar mulai berpetualang. Dari tahun 1932 sampai 1939 Anwar
berlayar. Dalam kurun waktu itu tak sedikit keragaman budaya yang
dilihat Pak Tua.
“Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930.
Selanjutnya berlayar tujuh tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia.
Kemudian pulang untuk berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas
Kapal, sementara Bangsa kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri
kebangsaanlah yang memanggil jiwa ini untuk ikut berjuang,”terang
Anwar.
Anwar berpetualang, menyelusuri setiap pelosok Tanah
Indonesia untuk berjuang mengusir Sang Meneer dari Indonesia. Awalnya
hanya bermodalkan bambu runcing. Anwar akhirnya mendapatkan senjata
rampasan dari tentara Belanda. Senjata ditangan, Anwar muda mulai
merengsek. Memuntahkan pelurunya di barisan terdepan pejuang Indonesia.
“Pada
awalnya tak ada senjata. Kami hanya bermodalkan bambu. Namun, dari
tangan belanda yang berhasil kami bunuh, kami nisa memperoleh senjata.
Dengan itulah kami menyerbu musuh. Mengambil topinya sebagai
“cinderamata” dari medan tempur,”lanjut Anwar.
Hingga Akhirnya
Indonesia merdeka. Belanda pergi dari tanah Bangsa. Tentu, kemerdekaan
itu adalah hasil perjuangan pahlawan kita. Termasuk Si Anwar yang
berjuang di dua episode perang tersebut. Anwar bertarung dengan gagah.
Namun apa yang didapatkan sang Letnan?. Hingga detik ini Anwar masih
berstatus pahlawan bangsa yang terabaikan. Pahlawan yang menyongsong
hari tuanya dengan melakoni profesi sebagai pengemis. Indonesia merdeka,
namun Anwar masih tetap “terjajah oleh hidup”!!.
Memang, dulu
Anwar pernah diberi secarik kertas bertuliskan penganugrahan sebagai
pejuang oleh Pemerintah. Namun karena jalan hidupnya yang sering
berpindah tempat “surat wasiat” itu raib entah kemana. Padahal, surat
itu adalah sebagai landasan Anwar untuk menerima haknya sebagai Veteran.
“Memang
dulu saya diberi surat oleh Pemerintah. Kalau tak salahnya surat
Bintang Grelya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu adalah
syarat untuk menerima tunjangan dari pemerintah. Tpi tak apalah, saya
juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang bukan
untuk uang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta tapi saya tak
menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal.
Sekarang saatnya susah. Hidup seperti roda nak. Kadang di bawah. Sekali
lagi, saya berjuang untuk Indonesia. Melihat Merah Putih berkibar tanpa
gangguan itu adalah suatu kebanggaan tersendiri. Tak ada yang membuat
saya bahagia kecuali melihat kibaran bendera Indonesia,”celoteh Anwar.
Letnan
Kolonel Anwar, pahlawan bangsa kini tak ubah hanyalah tubuh tua dekil,
tak ada yang peduli. Anwar semakin pupus di tengah sibuknya Kota
Bengkuang. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
Pahlawannya” kata Bung Karno. Namun itu hanyalah barisan kata, bukan
kenyataan. Tak percaya? tanyakan itu semua pada Anwar. Pahlawan kita
yang hinggga saat ini masih menengadahkan tangan untuk bertahan
hidup.Memang Anwar tak minta apa-apa dari perjuangannya. Tapi, apakah
kita tega melihat orang yang melepaskan kita dari jeratan penjajah harus
terlunta. Mengemis untuk hidup. Tanah kemerdekaan yang kita pijak
adalah hasil dari muntahan peluru Pahlawan mengusir penjajah. Namun
kenapa kita menutup mata untuk itu. Apakah rasa penghormatan kepada para
Pahlawan sudah pudar dihantam terjangan zaman. Sekali lagi, jangan
lupakan Anwar yang telah gigih perjuangkan bangsa. Pemerintah? mungkin
lupa juga akan nasib Sang Kapten. | |
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil Anwar (1948)
|
| Terhitung
sejak bulan Januari 2008 lalu, sesuai dengan keputusan Presiden RI
dalam kongres Veteran ke-7 tahun 2007. Sebanyak 5.134 veteran yang ada
di Sumbar akan mendapat tunjangan dana kehormatan senilai Rp. 250.000.
Penghargaan terhadap perjuangan yang mereka lakukan dalam membela
Indonesia sekaligus sebagai figur yang turut andil dalam merebut
kemerdekaan bangsa ini. Namun, bagaimana dengan Anwar?. Sang Letnan yang
tak mendapat apapun dari perjuangannya?.
Pembaca tentu masih
ingat dengan Anwar?. Letnan Satu yang kisahnya Penulis angkat menjadi
tulisan bersambung dalam tiga edisi. Dia (Anwar) masih seperti dulu.
Menengadahkan tangannya untuk mencari sesuap nasi. Di Simpang Potong,
Anwar masih berkutat dengan riak kemelaratan. Kecuali hari Sabtu dan
Minggu, Anwar pasti ada di Simpang Potong.
Di saat teman-teman
seperjuangannya berbahagia dengan tunjangan-tunjangan yang didapatkan
untuk mengisi hari tuanya. Anwar malah terabaikan. Bahkan Ketua LVRI
Sumbar (Legium Veteran Republik Indonesia) Drs H Adrin Kahar Ph .D
secara tegas mengungkapkan kalau Anwar belum tentu pejuang. Mungkin
saja, dengan mengatas namakan pejuang, Anwar berniat untuk mengeruk
keuntungan.
“Secara terang-terangan saya mengungkapkan kalau
Anwar belum tentu Veteran. Kalau emang dia veteran, pasti dia punya
nomor legium veteran atau surat-surat yang menyatakan dia pejuang.
Contohnya, surat Bintang Gerilya. Tapi kenyataannya tak ada kan?. Kami
(LVRI) selalu memperjuangkan hak-hak veteran. Tapi yang kami perjuangkan
itu adalah mereka yang nyata ikut berjuang. Pembuktiannya, ya dengan
surat keterangan,” tegas Sang Ketua.
Kata-kata LVRI seakan
menjadi cambuk bagi Anwar. Anwar tenggelam. Keputus asaan seolah semakin
kuat melekat. Sudah pasti, tak akan ada penghargaan ataupun tunjangan
yang akan diterima Anwar. Minim lencana Veteran. Anwar semakin kuat
menapak di atas trotoar panas. Memang, Anwar tak punya apa-apa untuk
“diperagakan” kepada Pemerintah kalau dia adalah bekas pejuang
kemerdekaan dua periode. Semua surat-surat Anwar hilang. Maklum,
semenjak istrinya meninggal, Anwar tak punya rumah. Hidupnya hanya
numpang.
“Biarlah orang bicara saya bukan pahlawan. Tapi sejarah
tak dapat dipungkiri. Dari dulu saya bilang kalau saya tak butuh
tunjangn gono-gini. Saya hanya ingin melihat kibaran merah putih tanpa
gangguan serta hanya butuh sesuap nasi untuk makan. Itu sudah
cukup,”ulas Anwar untuk kesekian kalinya pada Penulis.
Jam sudah
menunjukkan angka 12 siang. Matahari semakin panas. Dengan langkah
tertatih Anwar mulai meninggalkan dua onggok bata yang jadi topangan
tubuhnya. Anwar melangkah menuju simpang Alang Laweh. Menaiki Angkot
jurusan Mato Aia, Anwar menuju rumah tumpangannya.
Rasa keingin
tahuanlah yang menyeret langkah penulis untuk mengikuti mobil angkot
biru tumpangan Anwar. Terus menguntit, akhirnya angkot berhenti di depan
rumah bercat putih. Bangunan sederhana yang terletak di Kelurahan Koto
Baru, Kecamatan Lubuak Bagaluang, Padang. Rumah mungil yang bersebelahan
dengan bengkel variasi mobil. Itulah kediaman Anwar sejak tahun 1975.
Sang
empunya rumah, Shally (50) menyambut kedatangan Anwar dengan cemas.
“Pak Gaek (panggilan Anwar) memang kurang enak badan, kami sudah
melarangnya pergi kerja tapi wataknya sangat keras. sulit sekali
melarangnya pergi,”terang Shally dengan wajah ragu.
Anwar tampak
mengaso di atas sofa yang sudah lusuh. Mencoba menetralisir kembali
nafasnya yang turun naik. Sementara Anwar mengaso, POSMETRO mencoba
bercakap dengan Shally, orang yang berbaik hati menampung Anwar.
Wajah
ramah Shallypun tampak mengerut, mencoba mengingat hari pertama Anwar
datang ke rumah sederhananya. Sesat berpikir, akhirnya Shally mulai
bercerita. Tarikan panjang nafasnya, memulai penuturan itu.
“Pak
gaek datang awal 1975, bersam seorang temannya bernama Rustam (telah
meninggal). Mereka adalah sahabat Ayah saya. Ayah bernama (Syamsudin).
Ayahlah yang pertama memperkenalkan pak gaek dengan kami. Mereka adalah
tiga sekawan yang tak dapat dipisahkan. Namun, akhirnya, ajal merenggut
bapak dan Rustam. Tinggalah Pak Tua sendirian. Kami sudah menganggapnya
bagian keluarga sendiri,”celoteh Shally melirik “Pak Gaek” yang
menyeruput segelas air putih.
Rumah Shally memang sangat
sederhana. Cat putihnya sudah terkelupas, dihuni empat keluarga.
Ditambah Anwar, rumah itu kelihatan penuh sesak!. Tak hanya itu,
ternyata, Label RTM (Rumah Tangga Miskin)pun tertempel di jendela rumah
tersebut. Maklum, dengan empat keluarga, hanya suami Shally, Mak Tum
(52) yang menjadi tulang punggung keluarga. Mak Tumpun hanyalah pekerja
bengkel di Simpang Nipah. “Suami membuka bengkel kecil-kecilan. Kami
termasuk penerima bantuan BLT dari Pemerintah. Kami juga hidup dengn
sederhana. Tapi kedatangan pak gaek bukan beban bagi kami. Malah, kami
bahagia. Pak Gaek sering mengajarkan bahasa Inggris dan jepang pada
anak-anak,”tambah Shally.
Menurut Shally, di hari Tua-nya Pak
Gaek tak pantas mengemis. “Pak Gaek adalah seorang pahlawan. Tapi dia
seakan terabaikan. Saya pernah mengurus bantuan Veterannya, tapi tak ada
hasil. Pak gaek luar biasa, dia bisa tiga bahasa. Bahkan dia juga
bahasa jawa dan batak. Saya percaya dia pahlawan Walaupun hanya dengar
cerita dari mendiang Ayah dan Pak Rustam. Tapi kenapa Pak Gaek
terabaikan,”lemah Shlly menutur.
Ah, dunia memang terlalu kejam
buat sang Letnan. Jeritan sepatah iklan TV Swasta menglir ditelinga
Penulis. “Tanah yang Kita Pijak adalah bukti dari perjuangan Pahlawan
yang membentuk kita menjadi manusia merdeka. Pahlawan yang bertamengkan
rasa nasionalisme yang tinggilah semua ini tercipta. Hargai Pahlawan,
sebagai peringatan tertinggi buat mereka. Kita bangsa besar, lahir dari
cipratan darah sang revolusioner. Bangga ku dengan perjuanganmu”. Memang
mungkin itu hanya sebaris iklan. Hanya perkataan belaka. Kalau itu
kenyataan, mengapa hingga detik ini Anwar semakin murung?. Kapan secerca
harapan menghmpiri tubuh ringkihnya, sementara pintu ajal semakin
menganga menyambut kedatangan Sang Letnan.(Tamat) |
|
|
0 komentar:
Posting Komentar