Hari masih terlalu pagi, nenek buta, Syamsiar (70) menuju ke areal persawahan miliknya yang berjarak sekitar satu Km dari rumah. Tudung yang terbuat dari daun kelapa melekat di kepala, untuk melindungi tubuhnya dari sengatan matahari ataupun hujan. Langkah kakinya pelan menyusuri pinggir jalan beraspal. Sebatang tongkat melekat kuat dalam cengkramannya. Ujung tongkat selalu berpindah dari pinggir aspal ke rerumputan di setiap langkahnya.

Di bahu sebelah kiri tergantung sebuah tas berbahan karung plastik. Peralatan ke sawah, sabit, parang, dan bekal untuk makan siang ada dalam tas itu. Entah apa yang menjadi tanda bagi Syamsiar, kalau dia sudah berada di lahan sawahnya. Masih dibantu dengan tongkat, dia melangkah aliran parit yang mengairi areal persawahan di sekitar itu. Kini ia berada di pematang sawah, meski tak dapat melihat dia juga tetap bisa berjalan meniti pematang sawah dengan baik dan tanpa terpeleset sedikitpun.
Di letakkannya bekal tadi. Sambil menenteng sabit dia menuju sawah yang baru saja dipanen itu. Sekitar 200 meter persegi lahan atau tujuh petak sawah di areal yang tidak jauh dari jalan Kelurahan Kapalo Koto, Nagari Aur Kuning Kecamatan Payakumbuh Selatan adalah miliknya dalam bercocok tanam. Sambil menyusuri pematang, Syamsiar meraba pintu air ke sawahnya. Rupanya Syamsiar tengah berjuang untuk mengaliri air ke areal sawah. “Sadang mamasuak an aia ambo, bia lunak tanahnya. Buliah mudah masin bajak karajo,” ujarnya kepada POSMETRO.
Kemudian dia berjalan ke arah sawahnya yang lebih rendah, di bukanya setiap penutup pematang antara sawah itu. Sehingga seluruh sawahnya mendapat aliran air yang cukup. “Kalau lah siap dibajak, baru ditabua kan baniah untuak musim tanam yang ka tibo,” katanya. Menurut Syamsiar aktivitas itu telah dilakoninya sejak masa gadis dulu. Selain dari membajak sawah dan memanen padi, rutinitas ke sawah dapat dilakoninya dengan baik. Dari membakar jerami, menabur benih, menganyam pagar yang terbuat dari bambu untuk benih, memupuk tanaman padi, menyiang padi dari tumbuhan liar, hingga mengecek air.
Melalui indera keenam, Syamsiar akan tahu sendiri kapan waktunya tanaman padinya di pupuk. Dan kapan pula waktunya untuk memanen padi. “Sadonyo ambo rasoan jo perasaan se nyo,” ujar wanita tua yang memiliki dua anak dan empat cucu ini..
Diceritakan Syamsiar, tuna netra yang dialami bukanlah bawaan lahir. Tapi matanya rusak akibat tertusuk ranting pohon di kala dia masih kecil. Sedangkan matanya yang sebelah lagi mulai tidak bisa melihat disaat hamil tiga bulan anak pertamanya. “Mato yang sabalah lai ko indak bisa mancaliak, mungkin dek mamindah dari mato yang sabalah suok. Waktu itu alah dicubo barubek ka dokter mato di Padang, tapi
dokter mangatokan indak bisa lai diubek. Sabab bola mato tu banah nan alah rusak,”
ujarnya.
Syamsiar mengaku, hasil panennya dalam beberapa tahun terakhir semakin menurun. Apalagi dihasil panen yang terakhir, hampir 50 gantang padi kurangnya. Karena biasanya setiap kali panen bisa mendapatkan 400 gantang atau lebih dengan menggunakan bibit Batang Piaman. “Patang ko kan musim paneh, jadi padi banyak yang indak selamat,” jelas Syamsiar.
Begitu kuatnya tekad wanita tua ini dalam berusaha, meski tak dapat melihat tapi aktivitas ke sawah dengan mudah dilakoninya. “Kalau hasia karajo etek Syamsiar, mungkin banyak urang yang indak picayo. Karano rancak dan rapi bueknyo,” ujar Yet salah seorang warga Kelurahan Kapalo Koto.***