Sungguh ironis, bangsa besar ini kini berisikan manusia-manusia yang
pelupa. Lupa betapa kemerdekaan diperoleh dari perjuangan yang berdarah,
yang telah menyisakan ribuan bahkan jutaan tulang belulang. Para
pahlawan telah mewariskan kepada kita kemerdekaan, kedaulatan, dan
persatuan. Kita cuma diminta mengisinya dengan pembangunan, mengambil
alih tongkat estafet perjuangan yakni memperjuangkan keadilan dan
kemakmuran. Perjuangan yang tak perlu mengangkat senjata, tak perlu
berdarah, tersiksa atau semacamnya. Tapi apa boleh buat, kita kini
menjadi bangsa yang pelupa dan tak tahu diri. Bangsa perampok di rumah
sendiri. Boleh jadi, bahkan ‘tongkat estafetnya’ pun sudah lama dicuri.
Peringkat negara terkorup masih bertengger dengan manis di penglihatan
dunia; Indonesia malu, kita tidak malu, malah tetap berbuat seraya
melindungi para koruptor. Para pekerja kita disiksa, diperlakukan bagai
binatang, diusir dari negara tetangga; Indonesia sakit, kita tidak
merasa, malah berpaling, sibuk mengurus kekuasaan. Utang luar negeri
kita melambung, negeri ‘terjajah’ secara ekonomi, tercocok hidung, ikut
kemauan negara barat; Indonesia sedih, kita malah tertawa, bahkan
terbahak menikmati ‘sedapnya’ lubang-lubang bantuan. Menanggung krisis,
menjadi bahan gunjingan dunia, lupa akan jati diri, tak percaya akan
kemampuan diri sendiri; Indonesia menangis, kita malah bahagia, bahkan
semakin rela mengkrisiskan negeri, karena merasa diri sudah bergudang
‘rejeki’.
Saya membayangkan Indonesia adalah seorang lelaki yang disekap di sebuah kamar pengap –dan gelap- dengan makanan yang seadanya. Setiap kali berulangtahun ia dikeluarkan, lalu dimandi, diberikan baju yang rapi, rambutnya dicukur lalu disemir, tubuhnya disemprot ragam wangi, tak lupa memakai sepatu yang trendi. Lelaki itu dipaksa bahagia, bernyanyi, tertawa, bertepuk tangan di depan sebuah meja besar dimana kue mentega bersama nyala lilin tersaji. Setelah semua itu usai, lelaki itu kembali ditampar oleh ratusan tangan, ditendang oleh ratusan kaki, sebelum dihempaskan begitu saja masuk kembali ke kamar pengab. Lelaki itu bukan budak. Ia telah lama merdeka. Tapi begitulah nasibnya.
Saya membayangkan Indonesia adalah seorang lelaki yang disekap di sebuah kamar pengap –dan gelap- dengan makanan yang seadanya. Setiap kali berulangtahun ia dikeluarkan, lalu dimandi, diberikan baju yang rapi, rambutnya dicukur lalu disemir, tubuhnya disemprot ragam wangi, tak lupa memakai sepatu yang trendi. Lelaki itu dipaksa bahagia, bernyanyi, tertawa, bertepuk tangan di depan sebuah meja besar dimana kue mentega bersama nyala lilin tersaji. Setelah semua itu usai, lelaki itu kembali ditampar oleh ratusan tangan, ditendang oleh ratusan kaki, sebelum dihempaskan begitu saja masuk kembali ke kamar pengab. Lelaki itu bukan budak. Ia telah lama merdeka. Tapi begitulah nasibnya.
Kita kini hidup dalam sebuah negara yang penghuninya saling menjajah.
Saling menzalimi dan tak berkeadilan. Kemerdekaan cuma milik penguasa
dan para kapitalis saja. Kalau anda miskin, jangan pernah berani mencuri
apalagi korupsi, sebab jika tertangkap pasti babak belur dan masuk bui.
Tapi kalau anda pejabat tinggi, punya kuasa dan uang, silakan korupsi,
silakan mencicipi narkoba, silakan memalsukan ijasah, silakan merampas
hak orang lain, kedapatan atau tidak anda tetap selamat, dilindungi, dan
…tetap “dihormati.”
Kita kini hidup dalam negara dimana rakyatnya dibiarkan menganga.
Para koruptor dibiarkan begitu saja menikmati hasil jarahannya.
Sementara rakyat dibebani dengan berbagai biaya hidup yang terus
melambung. Biaya pendidikan semakin menyulitkan, biaya kesehatan
meningkat tajam, pungutan pajak semakin diperketat (untuk kemudian
dihambur-hamburkan dengan berbagai penggemblungan anggaran yang berpihak
kepada BUKAN rakyat), bahan-bahan pokok pada naik, listrik, gas,
telepon, air, pokoknya semua pada naik, namun semua itu tidak diimbangi
oleh penegakan hukum terhadap para pejabat yang mengkorup uang rakyat
termasuk para pengusaha yang menjarah uang negara dan lari keluar
negeri. Inilah realitas kemerdekaan yang dimiliki Indonesia.
Entah apa yang Bung Hatta akan katakan jika melihat kondisi di kekinian Indonesia. Pembawaannya yang sederhana mungkin cuma bisa meneteskan air mata dalam diam; bertanya dalam hati “begitu sulitkah berkeadilan dan memakmurkan rakyat di negeri yang kaya ini?
Entah apa yang Bung Hatta akan katakan jika melihat kondisi di kekinian Indonesia. Pembawaannya yang sederhana mungkin cuma bisa meneteskan air mata dalam diam; bertanya dalam hati “begitu sulitkah berkeadilan dan memakmurkan rakyat di negeri yang kaya ini?
0 komentar:
Posting Komentar