KH M Hasyim Asy’ari
Dari Pesantren untuk Indonesia
Salah kisah heroik yang menegakkan kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah resolusi jihad 22
Oktober 1945. Resolusi jihad ini merupakan manifestasi nasionalisme para
ulama’ dan kiai dalam membela tegaknya kemerdekaan Indonesia dengan
mengeluarkan fatwa jihad untuk berperang melawan penjajah. Belanda dan
sekutunya belum merelakan kemerdekaan yang diraih rakyat Indonesia.
Penjajah masih berusaha keras menjejakkan kakinya menghegemoni rakyat
Indonesia. Karena itulah, kiai dan kaum santri berkobar semangat
perjuangannya untuk menegakkan Indonesia. Resolusi jihad ini persis
jatuh pada 66 hari pasca kemerdekaan, 17 Agustus 1945 dan 18 hari
menjelang perang besar-besaran pada Hari Pahlawan, 10 November 1945.
Resolusi jihad para kiai ini dikomandoni oleh KH
Hasyim Asy’ari asal Jombang, sang Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama’ (PBNU). Sebelum menyampaikan fatwa resolusi jihad, Kiai Hasyim
terlebih dalulu melakukan provokasi perjuangan dengan mengeluarkan dua
petisi; pertama, umat Islam wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia; kedua, umat Islam Indonesia dilarang untuk melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda.
Petisi Kiai Hasyim yang dilanjutkan Resolusi Jihad
ini, seperti ditulis M.C. Ricklefs (1991), membuat ribuan kiai dan
santri mengalir ke Surabaya. Bung Tomo menjadi penggerak di lapangan
yang mengobarkan arek Surabaya berjuang melawan Inggris sampai titik
darah penghabisan. Nasionalisme Kiai Hasyim yang berkobar jelang
pertempuran 10 November 1945 menjadi tonggak nasionalisme Indonesia
untuk mempertahankan kemerdekaan. Jenderal Soedirman terilhami
nasionalisme Kiai Hasyim semakin teguh bergerilya melawan Belanda.
Bandung menjadi lautan api pada 26 Maret 1946 juga terilhami
nasionalisme arek Surabaya dalam melawan penjajah.
Lahir dari Darah Perjuangan
Heroisme dan nasionalisme Kiai Hasyim Asy’ari tak
bisa dilepaskan dari leluhurnya yang mewariskan darah perjuangan dalam
hidupnya. Beliau dilahirkan dari keluarga darah biru Islam tradisional.
Dilahirkan pada hari Selasa, 24 Dzulkaidah 1287 H/14 Februari 1871 M di
lingkungan Pesantren Gedang, Jombang dari pasangan Kiai Asy’ari dan
Winih (Halimah) binti Kiai Utsman. Kiai Asyari merupakan pendiri
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Winih (Halimah)
merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu
Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan
dari Jaka Tingkir). Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin
Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir
abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren
Tambakberas di Jombang.
Para leluhur yang tinggi derajatnya dan
turun-temurun mendirikan pesantren ini memberikan etos perjuangan Hasyim
untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Sejak masa belia, sang ayah
menjadi guru utama bagi Hasyim. Ilmu-ilmu dasar dalam ajaran Islam sudah
diajarkan sang ayah dengan baik, Hasyim juga mampu menyerap ilmu dari
sang ayah dengan cerdas. Terbukti, saat usia masih 13 tahun dan juga
belum mengenyam ilmu dari pesantren lain, Hasyim kecil telah menjadi
guru pengganti (badal) di pesantren ayahnya dengan mengajar
santri-santri yang usianya lebih tua dari dirinya. Melihat etos belajar
sang anak ini, Kiai Asy’ari segera mengirim Hasyim kecil untuk belajar
di berbagai pesantren di Jawa. Kiai Asy’ari mulai melepas Hasyim kecil
sejak usia 15 tahun.
Pertama kali Hasyim nyantri adalah Pesantren
Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke pesantren Langitan, Tuban di
bawah asuhan KH Saleh Nur, kemudian nyantri di Pesantren Tringgilis,
Semarang. Dari Semarang, Hasyim melanjutkan belajar kepada sosok
kharismatik bernama KH Muhammad Khalil Waliyullah, di Demangan, Bangkalan Madura. Gelar Waliyullah
melekat dalam diri KH Muhammad Khalil atas peran besarnya sebagai guru
tarekat yang pengikutnya tersebar luas serta banyaknya murid yang
berguru kepada beliau. Hampir ulama’ di Jawa-Madura pada abad ke-19 dan
abad ke-20 pernah belajar kepada Syaikhona Khalil. Dari Madura, Hasyim
terbang menuju Siwalan, Panji Sidoarjo untuk berguru kepada Kiai Ya’qub.
Karena melihat Hasyim muda tampak keulama’an dan ketokohannya, Kiai
Ya’qub kemudian mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan kepada
puterinya bernama Khadijah. Ini terjadi pada 1891 kala Hasyim berusia 21
tahun.
Kegemaran mencari ilmu tak menyurutkan keteguhan
Hasyim walaupun sudah menikah. Bersama istri tercinta, Hasyim berangkat
menuju Tanah Suci, Mekkah. Selain berhaji dan menuntut ilmu, Hasyim juga
merawat istri dan anaknya. Sayang, istri dan anaknya (Abdullah)
meninggal dan dimakamkan di Mekkah. Tujuh bulan lamanya berada di
Mekkah, kemudian pulang ke Tanah Air untuk menenangkan hati. Karena jiwa
belajarnya bergemuruh, Hasyim terbang lagi di Mekkah untuk belajar
selama tujuh tahun (1893-1899). Diantara guru-guru Hasyim kala di Mekkah
adalah Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syeikh Mahfudz al-Tarmisi,
Nawawi al-Bantani, Yusuf al-Batawi, Syeikh Ahmad Amin al-Attar, Syeikh
Sa’id Sulthan bin Hasyim, Syeikh Ahmad Zawawi, Syeikh Sa’id Yamani,
Syeikh Husein al-Habsyi, Syeikh Bakr Syatta, Syeikh Dagistani dan Syeikh
Bafadal.
Dari sekian guru ini, Hasyim mendapatkan ragam
khazanah keilmuan yang luar biasa. Di antara guru ini, yang memberi
inspirasi pergerakan kebangsaan bagi Hasyim adalah sosok Syeikh Ahmad
Khatib al-Minangkabawi. Yudi Latif (2005) mencatat bahwa Ahmad Khatib
merupakan ulama’ nasionalis yang memberikan ilham kebangsaan bagi
pergerekan intelektual Muslim pada awal abad ke-20. Ahmad Khatib tak
lain adalah paman dari Haji Agus Salim. Melalui Ahmad Khatib, Hasyim
belajar al-Manar, karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho. Ahmad
Khatib juga yang memberikan peta pergerakan umat Islam, baik di Arab
Saudi maupun di Jawa kepada Hasyim. Nasionalisme melekat kuat dalam diri
Hasyim karena pertemuannya dengan Syeikh Ahmad Khatib. Terlebih, saat
itu, umat Islam sedang digegerkan oleh ide Pan-Islamisme Jalamaluddin al-Afghani yang mendorong tumbuhnya jiwa nasionalisme masyarakat Islam.
Selain Ahmad Khatib, Hasyim juga melekat dengan
gerak keilmuan Mahfudz al-Tarmisi, ulama’ ahli hadits dan perawi hadits
al-Bukhari yang terpercaya saat itu. Mahfudz al-Tarmisi sangat disegani
kualitas ilmu haditsnya, sehingga banyak ulama’ Timur Tengah sendiri
yang belajar hadits kepada Syeikh Mahfudz. Dalam silsilah sanad, Syeikh
Mahfudz berada pada silsilah ke-23 langsung dari Imam al-Bukhari.
Melihat ketekunan Hasyim dalam belajar, Syeikh Mahfudz memberikan ijazah
mata rantai hadits Bukhari yang ke-24. Legitimasi Syeikh Mahfudz ini
menjadikan Hasyim kelak menjadi ulama’ ahli hadits paling disegani di
Nusantara pada jamannya.
Dari Pesantren untuk Indonesia
Tujuh tahun lamanya belajar di Tanah Suci, Hasyim
terpanggil untuk pulang ke Tanah Air. Tahun 1899, Hasyim pulang ke Tanah
Air langsung menuju pesantren kakeknya, Kiai Utsman di Gedang. Dikenal
sebagai anak muda energik, ilmunya tinggi, dan penuh motivasi dalam
mengajarkan ilmu Islam, Hasyim kemudian berubah namanya menjadi KH M
Hasyim Asy’ari. Sosok kiai muda yang dikagumi masyarakat pada jamannya.
Tak mau “menumpang” di pesantren kakeknya, juga karena melihat
masyarakat masih jauh dari ilmu agama, Kiai Hasyim kemudian mendirikan
pesantren sendiri di Desa Cukir, selatan Jombang, dekat Pabril Gula
Cukir. Pesantren yang berdiri pada 1899 M itu kemudian dikenal sebagai
Pesantren Tebu Ireng Jombang. Tebu Ireng bukanlah lingkungan pesantren,
tetapi lingkungan abangan yang maih jauh dari nilai kepesantrenan.
Tetapi justu itulah yang menjadikan Kiai Hasyim bersemangat untuk
mendirikan pesantren di Tebu Ireng. Tantangan dan rintangan di
sekeliling Tebu Ireng menjadikan Kiai Hasyim makin teguh pendiriannya
dalam mengajarkan agama Islam dan mencetak kader muslim dalam mengawal
Indonesia.
Karena berdiri di tengah lingkungan abangan yang
rawan dan berbahaya, justru menjadi titik kisar dalam kehidupan Kiai
Hasyim dikemudian waktu. Kesulitan yang dihadapi menumbuhkan jiwa
pemberani dan besar hati. Bekal ini menjadi titik kisar perjuangan
beliau untuk mengantarkan pesantren sebagai basis pergerakan beliau
dalam mengawa perjalanan Indonesia. Kiai Hasyim ingin melihat pesantren
bukan saja sebagai lembaga tradisional yang mengajarkan agama, tetapi
juga locus perjuangan umat Islam untuk melawan penjajahan. Maklum saja,
awal abad ke-20, nasionalisme bangsa terjajah sedang bergelora. Kiai
Hasyim sudah mendapatkan suntikan nasionalisme tersebut dari Timur
Tengah via Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani.
Selain karena leluhurnya yang turun-temurun
mendirikan pesantren, Kiai Hasyim juga terlecut oleh spirit nasionalisme
bangsa terjajah dalam melawan kolonialisasi. Terbukti, Pesantren Tebu
Ireng bukan saja mencetak generasi ulama’, tetapi juga generasi pejuang.
Santri-santri Tebu Ireng bukan saja diajarkan ilmu agama, tetapi juga
diajari bahasa Belanda. Kiai Ilyas dan Kiai Wahid Hasyim menjadi motor
penggerak pembaharuan pesantren yang diimpikan Kiai Hasyim. Kemudian
semangat perjuangan juga dibangun dalam fondasi keilmuan pesantren,
sehingga santri juga banyak yang belajar ilmu silat. Gemuruh pembaharuan
dan spirit perjuangan Tebu Ireng menjadikannya sebagai besar yang
sangat berpengaruh pada awal abad ke-20. Bahkan hingga tahun 1942,
pesantren Tebu Ireng telah meluluskan 20.000 kiai yang berpengaruh di
Nusantara. 20.000 kiai jelas sangat signifikan bagi Kiai Hasyim untuk
melakukan pergerakan melawan penindasan yang menimpa Nusantara.
Karena pesantrennya yang begitu berpengaruh dan sikap politiknya yang non-kooperatif,
Belanda pernah membakar Pesantren Tebu Ireng pada tahun 1913. Sikap
Belanda yang makin seenaknya membuat Kiai Hasyim perlu merumuskan
kebijakan strategis perjuangan untuk melawan arogansi kolonial.
Pesantren menjadi media sangat strategis, karena murid Kiai Hasyim yang
menyebar di Nusantara menjadi modal kuat menggalang persatuan. Lahirlah
anak muda kreatif bergerak menerjemahkan spirit perjuangan Kiai Hasyim.
Mereka adalah Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Sansuri, Kiai Wahid
Wasyim, dan Kiai Ilyas. Anak-anak muda ini menjadi penggerak pembaharuan
dan penggerak perjuangan. Mereka itu semuanya berada dalam lingkaran
Tebu Ireng, sehingga gerak mereka di berbagai tempat akan tetap bermuara
di Tebu Ireng.
Lingkaran kaum muda ini juga yang menjadi arsitek
berdirinya Nahdlatul Ulama’ (NU) pada 16 Rajab 1344/31 Januari 1926.
Yang paling menonjol tentunya Kiai Wahab Hasbullah. Walaupun secarta
teknis NU berada dalam pangkuan Kiai Wahab, tetapi secara ideologis, NU
identik dengan Kiai Hasyim. Aturan dasar berorganisasi (Qonun asasi)
NU juga dicipta oleh Kiai Hasyim. Dan sejak berdiri, Kiai Hasyim
menjadi Rais Akbar sampai akhir hayatnya. Selain menghadang gerakan
wahabisme, NU berdiri juga untuk menegakkan panji-panji Nusantara yang
sedang dibelenggu oleh penjajah. Terbukti, NU bersama pesantren dan kiai
terus berjuang menjadi benteng pertahanan Indonesia dalam melawan
penjajah.
Setelah mendirikan pesantren dan NU, strategi
perjuangan Kiai Hasyim adalah merangkul umat Islam agar bersatu untuk
kejayaan bangsa. Dibantu lingkaran kiai muda kreatif-inovatif, Kiai
Hasyim bergerak dalam federasi organisasi Islam yang berdiri dalam
musyawarah 18-21 September 1937 di Surabaya. Organisasi itu bernama MIAI
(Majlis Islam A’la Indonesia). Dalam MIAI, Kiai Hasyim berdiri sebagai
pimpinan tertinggi, Rais Syuriah. MIAI berperan penting sebagai lobi
politik umat Islam kepada Belanda. Setelah berganti Jepang, MIAI berubah
menjadi Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Dan Kiai Hasyim juga
duduk sebagai Rais Syuriah. Walaupun teknis tugasnya dijalankan sang
putra, Kiai Wahid Hasyim.
Semasa Jepang, Kiai Hasyim pernah menolak melakukan shaikere,
menyembah matahari. Karena tindakannya itu, Kiai Hasyim ditahan Jepang
selama empat bulan, karena bagi Jepang tindakan itu telah menyulut umat
Islam secara umum menentang Jepang. Tetapi akhirnya beliau dibebaskan,
dan setelah itu beliau diangkat sebagai Kepala Syumubu (cikal
bakal Departemen Agama). Tentu saja, yang bertugas adalah putranya, Kiai
Wahid Hasyim. Lingkaran kiai muda kreatif menjadi penentu pergerakan
Kiai Hasyim, baik di NU, MIAI, Masyumi, maupun Syumubu.
Anak-anak muda ini kelak menjadi pemimpin umat Islam yang berpengaruh
pasca kemerdekaan. Bahkan putranya sendiri, Wahid Hasyim, termasuk
perintis berdirinya Indonesia yang ikut serta menandatangani Piagam
Jakarta.
Kader-kader pesantren menjadi kekuatan besar yang
digerakkan Kiai Hasyim untuk menegakkan Indonesia. Tak salah tatkala
beliau mengeluarkan petisi perjuangan melawan penjajah pasca
kemerdekaan, kemudian disusul dengan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945,
ribuan kiai dan santri serta masyarakat Jawa Timur berbondong-bondong
berjuang melawan Inggris. Dari Tebu Ireng, kiai dan santri membentuk
barisan laskar perjuangan, yakni Laskar Hizbullah (pasukan rakyat),
Laskar Sabilillah (pasukan santri), dan Laskar Mujahidin (pasukan kiai).
Laskar ini bergerak bersamaan untuk menegakkan kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945, dan menolak pendudukan kembali penjajah di bumi
pertiwi.
Ini bukti bahwa pengaruh beliau sangat disegani
umat Islam. Basis-basis ke-Indonesia-an beliau tegakkan lewat pesantren.
Walaupun banyak jabatan beliau sandang, tetapi beliau berkali-kali
tidak mau menerima beragam jabatan yang melekat dalam dirinya. Tetapi
karena “dipaksa” sejawatnya untuk berjuang membela umat dan bangsa, Kiai
Hasyim tak menyurutkan niatnya dalam bentuk jabatan apapun. Jabatan tak
membuat beliau menjadi sombong dan pongah, juga tidak membuat beliau
rakus dengan kekuasaan dan harta. Semua yang beliau lakukan merupakan
pengabdian kepada agama dan negera. Karena jejak perjuangan beliau yang
besar dalam berbagai jejak ke-Indonesia-an, pemerintah Republik
Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Kiai Hasyim
berdasarkan Kepres RI No. 294/1964 tertanggal 17 November 1964.
Bukan identitas kepahlawan yang Kiai Hasyim
ajarkan kepada Indonesia, tetapi ketulusan dan keteguhan memegang
prinsip yang beliau wariskan kepada generasi bangsa (Muhammadun).
Daftar Bacaan
Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama’ Nusantara (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2009)
Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2010)
Latiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama’ (Yogyakarta: LKiS, 2000)
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, (Bandung: Mizan, 2005)
Zuhairi Misrawi, Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (Jakarta: Kompas, 2010)
0 komentar:
Posting Komentar